Pages

August 15, 2011

Synopsis of Sitti Nurbaya

Sitti Nurbaya

Pengarang        : Marah Rusli
Penerbit            : Balai Pustaka
Tempat Terbit   : Jakarta
Tebal                : 334 halaman
Peran               : Sitti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaeman, Sutan Mahmud, Pak Ali,


Ringkasan cerita :

Anak laki-laki bernama Samsulbahri yang akrab dipanggil Sam ialah anak Sutan Mahmud Syah, Penghulu di Padang yang memiliki pangkat dan berbangsa tinggi. Yang nantinya akan meneruskan sekolah ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Serta temannya Sitti Nurbaya yang akrab dipanggil Nur ialah anak Baginda Sulaeman, seorang saudagar kaya di Padang yang mempunyai beberapa toko yang besar, kebun yang amat luas, serta beberapa perahu di laut untuk perdagangannya melalui lautan. Mereka sangat karib seperti adik dan kakak saja. Tak lupa juga seorang lelaki yang telah beruban dan jelas tidak remaja lagi namun sehat, kukuh, badannya masih sempurna, ialah Datuk Maringgih. Seorang saudagar Padang yang termasyhur kayanya sampai ke negeri lain. Pada saat itu tiada seorang puny ang dapat melawan kekayaannya ini. Siapakah yang tidak mengenalnya? Sampai ke Singapura dan Melaka, Datuk Maringgih diketahui orang. Memang Datuk Maringgih orang yang kaya, tapi tiadalah ia berbangsa tinggi.

Pada suatu malam, Sam mengajak Nurbaya untuk pergi ke Gunung Padang bersama teman-temannya, Bakhtiar dan Afirin. Nurbaya pun mengiyakan ajakan Samsulbahri. Lalu pergilah mereka pada hari yang ditentukan ke Gunung Padang. Gunung Padang tingginya kira-kira 322m, ialah ujung sebelah utara gunung-gunung rendah yang memanjang dari sebelah selatan kota Padang. Disana, ketika mereka sedang beristirahat sejenak, Bakhtiar diserang oleh kerea-kera karena berebut makanan. Karena peristiwa ini, pergilah mereka ke rumah peristirahatan di dekat gunung untuk melanjutkan makan mereka yang tertunda. Ditempat inilah Sam berkata pada Nurbaya bahwa dia akan pergi ke Jakarta, 3 bulan yang akan datang.

Hari dimana Sam akan pergi ke Jakarta pun tiba. Tidak hanya Sam yang akan pergi melanjutkan sekolahnya ke Jakarta, namun Bakhtiar dan Arifin juga melanjutkan sekolah ke Jakarta. Berkumpulah mereka didalam sebuah rumah untuk mengadakan acara perpisahan. Ketika Nurbaya hendak pulang ke rumahnya, Sam mengatakan bahwa ia akan mengantarnya pulang ke rumah. Tak lama kemudian, sampailah mereka di pekarangan rumah Nurbaya. Lalu duduklah mereka di bawah pohon tanjung yang rindang di dalam rumah Nurbaya. Ditempat ini pulalah Samsulbahri menyatakan rasa sukanya kepada Nurbaya selama ini, dan berjanji sehidup semati.

Tak lama Sam bersekolah di Jakarta, diterimanyalah sepucuk surat dari Nurbaya kekasihnya. Isi surat itu adalah kabar bahwa Nurbaya telah dipersunting oleh Datuk Maringgih dikarenakan untuk melunasi hutang ayahnya. Diceritakannya dalam surat itu bahwa ketiga toko yang dimiliki ayahnya ludes terbakar si Jago merah, Kapal yang biasa mengangkut barang dagangan karam di lautan, serta yang lebih terkejut lagi adalah tidak berbuahnya pohon kelapa milik ayahnya. Lalu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih bermaksud untuk memulai usaha yang telah ia miliki selama ini, karena tidak bisa membayar hutangnya Datuk Maringgih berniat akan menyita semua barang yang Baginda Sulaeman miliki dan akan dimasukkannya Baginda Sulaeman ke dalam penjara pula, kecuali Nurbaya menjadi istrinya. Awalnya Nurbaya tidak ingin menjadi istri Datuk Maringgih ,namun karena tidak ingin melihat ayah masuk ke dalam penjara, maka maulah iya dipersunting Datuk Maringgih menjadi istrinya.

Setahun sudah lamanya Sam tak pulang ke Padang, menjelang puasa kali ini datanglah Sam ke rumahnya di Padang. Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya, pergilah ia ke rumah Nurbaya bermaksud untuk menjenguk Baginda Sulaeman yang telah terbaring sakit. Tak lama Samsulbahri sampai dirumah Baginda Sulaeman, datanglah Sitti Nurbaya. Maka bertemulah keduanya disitu. Pada malam harinya, duduklah mereka dibawah pohon dimana mereka terakhir bertemu dan mengucapkan janji sehidup semati. Tanpa mereka sadari, gerak-gerik mereka sedang diawasi oleh Datuk Maringgih dan para pendekarnya dari balik semak. Ketika mereka sedang asyik memadu kasih, karena tak tahan menahan rindunya, merekapun berciuman. Pada waktu itu, tertangkap basahlah mereka oleh Datuk Maringgih dan dipukulah Sam dengan menggunakan tongkatnya namun tidak mengenai Sam. Maka, tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Samsulbahri menendangnya dan karena kesakitan teriaklah Datuk Maringgih meminta tolong. Keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya.

Melihat Pendekar Lima bersenjatakan Keris ditangannya, teriaklah Sitti Nurbaya. Terikan Nurbaya itu terdengar oleh para tetangga dan Ayahnya yang sedang sakit. Datanglah para tetangga ke arah suara teriakan tadi dan terperanjatlah Baginda Sulaeman mendengar suara anaknya pula. Takut-takut Nurbaya terkena bahaya. Karena kurang hati-hati berjalan, saat akan menuruni anak tangga jatuhlah ia dan seketika Baginda Sulaeman meninggal dunia. Mengetahui hal itu, Sitti Nurbaya amat sedih dan berkatalah Datuk Maringgih bahwa semua itu kesalahan Nurbaya. Mendengar hal itu, geramlah Nurbaya dan mengatakan bahwa Datuk Maringgih lah yang telah membunuh ayahnya. Tatkala ayahnya jatuh miskin, pura-puralah ia menolongnya dengan meminjamkan uang tetapi maksud sebenarnya adalah untuk menjerumuskan ke dalam jurang yang lebih dalam dan Nurbaya pun mengusir Datuk Maringgih. Mendengar perkataan Nurbaya yang begitu adanya, Datuk Maringgih pun berpesan “Tunggulah!”. Datuk Maringgih pun mencari akal bagaimana cara membunuh Sitti Nurbaya.

Begitu mendengar bahwa anaknyalah yang menyebabkan kericuhan malam itu, marahlah Sutan Mahmud dan mengusirnya pergi. Keesokan harinya kira-kira pukul lima pagi, pergilah Sam ke Teluk Bayur lalu naik kapal yang berlayar ke Jakarta.

Sepeninggal ayahnya, Nurbaya tinggal di rumah saudaranya, Sitti Alimah di kampung Belantung. Ketika mereka sedang berbincang, terperanjatlah Alimah melihat ada orang yang sedang memata-matainya dari bawah jendela. Lalu, dengan segera dikuncinya jendela itu dan langsung menghampiri Nurbaya yang sedang memandangi foto Samsulbahri. Alimah pun menyarankan Nurbaya agar menyusul Sam ke Jakarta. Dikirimkannya lah sepucuk surat kepada Sam yang memberitahukan kedatangan Nurbaya ke Jakarta. Berangkatlah Nurbaya ke Jakarta bersama Pak Ali pada hari yang telah ditetapkan. Setelah naik ke atas kapal, mereka mencari tempat bersembunyi di dekat Kapten Kapal kalau-kalau terjadi apa-apa nanti, mudah untuk mengabari Kapten Kapal. Tanpa mereka sadari, mereka diikuti oleh Pendekar lima ke dalam perahu yang ia naiki. Dipertengahan pelayaran menuju Jakarta, terjadilah ombak besar yang membuat seisi penumpang kapal ricuh. Pendekar Lima pun menggunakan kesempatan ini untuk membunuh Nurbaya dengan cara dibuangnya ke Lautan.

Setelah Pendekar Lima mengetahui persembunyian Nurbaya, ditariknyalah tangan Nurbaya dan berteriaklah Nurbaya sekuat-kuatnya agar dapat ditolong oleh orang lain. Pingsanlah Nurbaya seketika itu. Karena takut ketahuan orang banyak, maka dilepaskannya Nurbaya dan mereka kembali bersembunyi. Mengetahui hal itu, segeralah Pak Ali membawa Nurbaya ke suatu ruangan agar dapat perawatan. Tak lama kemudian merapatlah kapal itu di pelabuhan. Segeralah Samsulbahri mencari Nurbaya. Pada saat itu juga datanglah seorang Polisi mencari Nurbaya. Polisi ini mengatakan bahwa ia mendapat surat tugas dari Padang yang menyatakan bahwa Sitti Nurbaya melarikan diri dengan membawa barang-barang milik suaminya. Samsulbahripun mengetahui pada itu hanyalah akal busuk Datuk Maringgih saja. Ia meminta kepada Polisi agar Nurbaya dirawat dulu di Jakarta sampai ia sembuh, lalu boleh dibawanya Nurbaya ke Padang untuk menyelesaikan perkara ini. Polisi pun menyetujuinya.

Keadaan Nurbaya pun semakin membaik, maka berangkatlah ia ke Padang untuk menyelesaikan perkara ini. Dan terbukti memang Nurbaya tidak bersalah. Karena sudah tidak memiliki saudara di Padang, tinggallah ia bersama Alimah lagi. Pada suatu malam, terdengarlah suara penjual kue di daerah rumah Alimah. Karena merasa ingin memakan kue, maka dibelinyalah kue lemang, 4 buah banyaknya. Langsung dimakanlah lemang itu, namun karena merasa tidak lapar, Alimah hanya memandangi Nurbaya saja yang sedang asyik memakan lemang. Tak lama setelah dilahapnya lemang-lemang itu, Nurbaya merasa pusing dan tertidurlah ia dibawah pijitan Alimah. Terperanjatlah Alimah melihat bahwa saudaranya telah tak bernyawa lagi. Diguncangnya tangan, badan, serta kaki Nurbaya supaya bangun, namun Nurbaya tidaklah memberi tanggapan apa-apa. Ketika Ibu Samsulbahri mendengar tentang perihal Nurbaya ini, mendadak meninggalah ia pula diwaktu yang sama.

Samsulbahri mendapatkan 2 buah surat kawat dari Padang,yang pertama berisikan tentang kabar meninggalnya Ibunda dari Sam sendiri, surat yang kedua berisikan kabar tentang meninggalnya Nurbaya. Setelah membaca isi surat itu, jatuhlah ia pingsan. Ketika ia telah sadar, diambilnya kertas dan pena lalu ditulisnya sepucuk surat untuk Ayahnya serta teman-temannya, yang berisikan bahwa ia akan menyusul Nurbaya dan Ibunya ke alam baka. Ia pun berniat mengirimkan surat itu ke kantor pos, sekaligus melaksanakan rencananya untuk mengakhiri hidupnya itu. Sesampainya ke kantor pos Samsulbahri minta berpisah dengan Arifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Arifin memperkenankannya, tetapi tanpa diketahui Samsulbahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.

Pada suatu tempat di kegelapan, Samsulbahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya,  kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Arifin segera berteriak. Karena teriakan Arifin itu, peluru tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.

Sepuluh tahun sepeninggalan Sam, terjadilah bentrok di Padang mengenai masalah belasting. Seorang Letnan dan temannya ditugasi untuk meredakan bentrokan itu. Letnan itu bernama Letnan Mas dan seorang temannya bernama Letnan Yan van Sta. Sebelum bentrokan ini terjadi, pergilah Letnan Mas ke makam Nurbaya dan Ibu Sitti Mariam (Ibunda Samsulbahri). Dalam bentrokan itu bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, Letnan Mas berkata bahwa ialah Samsulbahri. Lalu ditembaklah Datuk Maringgih olehnya. Tetapi sebelum meninggal, Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Diayunkan pedangnya kearah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia terjatuh. Ia terjatuh di atas timbunan mayat, yang antara lain adalah mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting.

Setelah Sutan Mahmud datang, Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Samsulbahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk meredakan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka yang dideritanya. Ia juga berkata bahwa Samsulbahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Mariam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.

Kemudian, Sutan Mahmud bertanya kepada seorang dokter tentang seorang Letnan yang bernama Letnan Mas, barulah Sutan Mahmud mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Samsulbahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah Letnan Mas atau Samsulbahri itu diantara makam Siti Mariam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.

Sepeninggal Samsulbahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud. Beberapa bulan kemudian berziarahlah Arifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter dan opzichter.

No comments:

Post a Comment